Spesial at Ramadhan, on Grup Whatsapp Ibu Profesional

Diskusi edisi Ramadhan di kelas fasilbunsay #1

Kalau dulu saat di depok, dimulai dari rumah. Kebutuhan anak-anak dan teman, kebutuhan saya mendampingi mereka. Maka saya ajaklah anak-anak tetangga gabung ke rumah, saya fasilitator mereka. Saya tanya yang paling disukai apa?

"Jauh dari bapak, ibu (nggak dimarahin soalnya)"

" diijinkan ke dapur, beresin rumah, main air, dll."

Maka saya meramu kegiatan TPA di rumah sesuai kebutuhan mereka

Jadilah rumah kecil saya menjadi "lab life skill" anak-anak para pemabuk, tukang sabung ayam, penjudi, dll.

Anak-anak itu baik, tinggal di lingkungan yang tidak baik.

Tugas saya menerima keberadaan lingkungan, dan ubah lingkungan, jangan lari dari kenyataan.

Rumah saya bersih, anak -anak bahagia, tetangga bahagia.

Awalnya memang mereka senang karena anaknya ada yang momong, tapi buat saya itu kesempatan berharga buat saya untuk melatih keterampilan mendidik mereka.

Selanjutnya TPA hijrah ke masjid, giliran saya (fokus) ke anak remaja yang suka minum, kongkow kongkow, mabuk, dll. Saya minta main gitarnya ke serambi masjid yuk, sambil mendampingi anak TPA yang ingin berekspresi. Awalnya menolak, lama-lama oke.

Tahap selanjutnya sentuh sisi finansial, mendata yang bisa naik motor berapa, yang nyopir berapa. Jadilah mereka tukang antar jemput anak-anak. Tugas saya mencarikan pasarnya.

Kegiatan ini diduplikasi di Salatiga dengan cara yang berbeda. Karena saya ditempatkan di daerah yg terkenal dengan sarangnya pencuri, pencopet minum-minuman lagi, yang terkenal di Salatiga.

(....pindah Salatiga)
Kondisinya tidak beda jauh dengan di Depok. Bedanya kalau dulu kami berada di dalam kampung tersebut, sekarang tetangga dekat dengan kampung yang terkenal sumber masalah di Salatiga.

Masalahnya masjid yang terdekat dari rumah kami ya masjid di tengah kampung tersebut.

Saat masuk pertama kali ke masjid, isinya kaum tua yang bisa dihitung jari. Anak aqil baligh, didominasi laki-laki. Akhirnya Elan masuk dengan program gowesnya. Bukan dengan ngaji.

Prinsipnya waktu itu "masjid adalah tempat bersenang-senang" kalau masjid ditutup untuk anak-anak, maka mereka akan mencari kesenangan di tempat lain.

Tahap selanjutnya, cari tahu, apa hal yang paling disukai warga baik tua maupun muda sampai anak-anak.

Ternyata mereka suka jalan-jalan, maka diadakanlah program jalan-jalan setiap pekan.

Sampai suatu saat pak Dodik berinisiatif ngajak seluruh anak-anak remaja tersebut piknik ke Jogja di Masjid Jogokariyan.

Kami sewa satu bis, dan menginap semalam di masjid tersebut (simulasi i'tikaf).

Apa yang kami dapatkan di Masjid Jogokariyan? 👇

Berikut saya sarikan hasil belajar kami:

Diawali dari sebuah pertanyaan:

"Berapa Masjid kah yang menjadi BEBAN bagi Jama'ah dibandingkan dengan Masjid yg MEMBERDAYAKAN Jama'ah..?"

Maka jawabannya adalah :
"Ratusan ribu Masjid membebani Jama'ah untuk listrik, air, dan kebersihan. Padahal pemanfaatannya hanyalah sholat dan sholatnya pun tak pernah penuh.."

Disamping itu, Aset Masjid berupa jutaan meter persegi tanah dan bangunan dinilai dari aspek apapun (serasa) masih sangat tak produktif, padahal soal Masjid adalah ideologi sekaligus substansi Peradaban Islam.

Tapi baiklah, kita masuk pada "langkah strategis" dan praktis yang ditempuh di Masjid Jogokariyan Yogyakarta.
Bahwa secara sederhana Manajamen Masjid memiliki 3 langkah yakni:
- Pemetaan.
- Pelayanan.
- Pemberdayaan.

Setiap Masjid harus memiliki Peta 
- Da'wah yang jelas.
- Wilayah kerja yang nyata, dan 
- Jama'ah yang terdata.

Pendataan yang dilakukan Masjid terhadap jamaah mencakup :
- Potensi dan kebutuhan...
- Peluang dan tantangan...
- Kekuatan dan kelemahan..

Di Masjid Jogokariyan Yogyakarta meng-inisiasi SENSUS MASJID yakni berupa: Pendataan tahunan yang hasilnya menjadi Data Base dan Peta Da'wah secara komperehensif.

Data Base dan Peta Da'wah Masjid Jogokariyan Yogyakarta tak hanya mencakup : 
Nama KK dan warga, Pendapatan, Pendidikan, dll.
Tetapi juga sampai pada :
Siapa saja yang sholat & yang belum sholat.
Yang sholat di Masjid & yang belum sholat di Masjid.
Yang sudah berzakat atau yang belum.
Yang sudah ber-qurban atau yang belum ber-qurban.
Yang aktif mengikuti kegiatan masjid atau yang belum.
Yang berkemampuan di bidang apa dan bekerja di mana.
pokoknya detail bingitz deh.

Dari Data Base diatas kita bisa tahu
Bahwa dari 1030 KK (4000-an penduduk sekitar masjid) yang belum sholat tahun 2010 ada 17 orang.
Lalu bila dibandingkan dengan data tahun 2000 yang belum sholat 127 orang.
Dari sinilah perkembangan Da'wah selama 10 tahun terlihat.

Peta da'wah Masjid juga memperlihatkan gambar kampung yang dirumah-rumahnya berwarna-warni.

Warna hijau tua berarti 
SANGAT mendukung da'wah.
Warna hijau muda, berarti 
CUKUP mendukung Da'wah.
Warna kuning, berarti 
NETRAL terhadap Da'wah.
Sedangkan,
Warna merah, berarti 
MUSUH Da'wah.

Di tiap rumah ada juga atribut iconik. 
Icon Ka'bah, berarti sudah berhaji.
Icon Unta, berarti sudah ber-Qurban.
Icon Koin, berarti sudah berzakat.
Icon Peci, berarti sudah...dsb...

Konfigurasi rumah sekampung itu juga biasa dipakai tuk mengarahkan para Ikhwah da'i yang juga sedang cari rumah.

Masjid Jogokariyan juga berkomitmen tidak membuat unit Usaha agar tidak menyakiti jamaah yang juga memiliki bisnis serupa. Ini harus dijaga.Misalnya, tiap pekan Masjid Jogokariyan biasa menerima ratusan tamu, sehingga konsumsi untuk tamu di-orderkan bergilir pada jamaah yang punya rumah makan.

Data Jamaah juga digunakan tuk "Gerakan Shubuh Berjamaah"
Pada tahun 2004 dibuat Undangan Cetak layaknya Undangan Pernikahan tuk Gerakan Shubuh.
By name... 
UNDANGAN : 
Mengharap kehadiran 
Bapak/Ibu/Saudara...
dalam acara Sholat Shubuh Berjamaah, besok pukul 04.15 WIB 
di Masjid Jogokariyan..."

Undangan itu dilengkapi hadis-hadis keutamaan Sholat Shubuh. Hasilnya...?? 
Silahkan mampir ke Masjid Jogokariyan untuk merasakan Jamaah Shubuh yang hampir seperti Jamaah Sholat Jum'at.

Sistem keuangan Masjid Jogokariyan juga berbeda dari yang lain.
Jika ada Masjid mengumumkan dengan bangga bahwa saldo infaknya jutaan, maka Masjid Jogokariyan selalu berupaya keras agar di tiap pengumumaan saldo-infak harus sama dengan NOL Rupiah !!
Infak itu ditunggu pahalanya tuk jadi amal sholih, bukan tuk disimpan di rekening Bank.

Sebab pengumuman infak jutaan akan sangat menyakitkan jika tetangga Masjid ada yang tak bisa ke Rumah Sakit sebab tak punya biaya atau tak bisa sekolah.
Masjid yang menyakiti Jamaah ialah tragedi da'wah.
Sehingga dengan pengumuman saldo infak sama dengan NOL Rupiah, maka jamaah lebih bersemangat mengamanahkan hartanya, pun kalau saldo Masjid masih jutaan yaa maaf kalau malah membuat infak Jamaahnya nggak semangat.

Wifi di Masjid Jogokariyan sudah dari tahun 2004, dan itu "gratis",
sehingga Jama'ah baik dari anak-anak maupun dewasa tidak perlu repot-repot ke WarNet yang sangat memungkinkan mereka untuk membuka situs yang bukan-bukan.

Masjid juga menyediakan ruang olahraga atau bermain yang terdapat alat olahraga seperti tenis meja, dan lain-lain, sehingga anak-anak atau remaja atau pemuda yang ingin bermain atau berolahraga di Jogokariyan bisa kerasan atau betah. Daripada "mereka" main atau ber-olahraga diluar masjid yang biasanya waktu mereka saat itu bertabrakan dengan waktu sholat.

Dan kerennya, masjid tersebut bisa menyediakan setidaknya 1000 piring sebagai menu buka puasa di Bulan Romadhon.
Juga secara gratis untuk para Jama'ah.

Masjid Jogokariyan pada tahun 2005 juga meng-inisiasi Gerakan Jamaah Mandiri. yaitu:
Jumlah biaya setahun dihitung
dibagi 52, lalu ditemukan biaya pekanan, dibagi lagi dengan kapasitas masjid, lalu ditemukan biaya per-tempat sholat, setelah itu disosialisasikan.
Kemudian Jamaah diberitahu bahwa jika dalam sepekan mereka ber-infak dengan jumlah "segitu" maka dia katagori Jamaah Mandiri.
Adapun jika berinfak lebih, maka dia termasuk Jamaah Pensubsidi.
Tetapi, jika dia tidak ber-infak atau berinfak kurang maka dia termasuk Jamaah di Subsidi.
Kemudian sosialisasi ditutup dengan kalimat : 
"Doakan kami tetap mampu melayani ibadah anda sebaik-baiknya..."

Gerakan Jamaah Mandiri Alhamdulillah sukses menaikkan infak pekanan Masjid Jogokariyan hingga 400%. Toh ternyata orang malu, jika ia beribadah tapi disubsidi.

Demikianlah jika peta, data, dan pertanggungjawaban keuangan masjid transparan, sehingga infak 1000 rupiah pun kita tahu kemana alirannya. Maka tanpa diminta pun jamaah akan berpartisipasi.

Dan tiap kali renovasi Masjid, Takmir Masjid berupaya tak membebani jamaah dengan Proposal, sebab Takmir hanya pasang spanduk : 
"Mohon maaf ibadah Anda terganggu, Masjid Jogokariyan sedang kami renovasi..."
Nomor rekening tertera di bawah.

Dan sejak tahun 2005 Masjid Jogokariyan sudah menjalankan program Universal Conference Insurance.
dimana seluruh Jamaah Masjid bisa berobat di Rumah Sakit atau klinik manapun secara Gratis dengan membawa Kartu Sehat Masjid Jogokariyan.

Dan kami juga biasa memberi hibah Umrah bagi jamaah yang betul-betul rutin Jamaah Sholat Shubuh di Masjid Jogokariyan.

Inilah beberapa output dari Program Masjid Mandiri. Artinya semua yang dari jamaah akan kembali ke Jamaah.

Satu kisah lagi tuk menunjukkan pentingnya data dan dokumentasi, yakni
Masjid Jogokariyan punya foto pembangunannya di tahun 1967, gambarnya seorang Bapak sepuh berpeci hitam, berbaju batik, dan sarungan, sedang mengawasi para tukang pengaduk semen untuk Masjid Jogokariyan.

Di tahun 2002/2003 Masjid Jogokariyan direnovasi besar-besaran kemudian foto itu dibawa kepada putra si kakek dalam gambar tersebut. Putranya seorang juragan kayu. Kami katakan pada Putra kakek yang ada di foto tadi : 
"Ini gambar Ayahanda Bapak ketika membangun Masjid Jogokariyan, kini Masjid sudah tak mampu lagi menampung Jamaah, sehingga kami bermaksud merenovasi masjid, jika berkenan tuk melanjutkan amal jariyah Ayahanda Bapak, kami tunggu partisipasi bapak di Jogokariyan.

Alhamdulillah, foto tua tahun 1967 itu membuat yang bersangkutan nyumbang 1 Miliar Rupiah dan mau menjadi Ketua Tim Pembangunan Masjid Jogokariyan sampai sekarang.

Foto tua yang telah dibingkai indah itu ternyata "seharga" 1 Miliar. 😊

Sumber: cerita Salim A. Fillah dan Bapak Jazir (takmir masjid)

Kamipun akhirnya menduplikasi kesuksesan Jogokaryan tersebut di Salatiga. Masih on going proses, yang sudah tampak:

a. Muncul generasi masjid yang selalu aktif menjadi pelopor kegiatan di masjid.

b. I'tikaf selalu ramai dipenuhi anak-anak kampung yang terkenal dengan orang dewasa yang memunculkan masalah di seputar Salatiga.

c. Setiap musim tes sekolah, anak-anak semakin ramai ke masjid, karena di masjid itu belajar. Bersama kakak-kakak mentor untuk mendampingi anak-anak.

d. Dipasang WIFI selama beberapa bulan, dan anak-anak laki2 awalnya senang ngegame di masjid, positifnya setiap kali adzan, pasti sholat. Selanjutnya kakak-kakak mengajari bagaimana menggunakan teknologi internet dengan baik.

Kembali ojek remas (remaja masjid) digalakkan, kali ini untuk memfasilitasi para eyang-eyang yg ingin memenuhi kebutuhan transpotasi, mengingat Salatiga adalah kota pensiunan.

Besok hari ahad, mereka sudah bisa jadi pelopor untuk mengumpulkan seluruh remas se-Salatiga, belajar dengan kami berdua tentang tema:
"Bagaimana meningkatkan kualitas ke-Islamian ummat".

Benar kata mas Dodik, jadilah pembuat perubahan, jangan menunggu hasil perubahan dari orang lain.

"Jadilah pembuat perubahan, jangan hanya jadi penonton yang bertepuk tangan menunggu hasil perubahan dari orang lain"

-Selesai-

(By: Ibu Septi Peni Wulandani)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Misi Pernikahan atau Misi Keluarga (Part 1) by Ust. Harry Santosa

Materi ke 10 Matrikulasi IIP batch#1

Saudara & Persaudaraan